Kumpulan Karya Sastra Indonesia

Monday, November 6, 2017

TEORI SEMIOTIKA

SEMIOTIKA
Dalam pandangan semiotik yang berasal dari teori  saussure bahasa merupakan sebuah sistem tanda. Sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna.bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan, tidak hanya menyaran pada sistem (tataran) makna tingkat pertama (first-order semiotic system),melainkan terlebih pada sistem  makna tingkat kedua (second-order semiotic system) (culler,1997: 114). Hal itu berjalan pada proses pembacaan pada teks kesastraan yang bersifat heuristik dan hermenuistik di atas.
            Peletak dasar teori semiotik ada dua orang ,yaitu Ferdinand de saussure dan Charles Sandres Peirce. Saussure –yang terkenal sebagai bapak ilmu bahasa modern-mempergunakan istilah semiologi. Di pihak lain , peirce, yang seorang ahli filsafat itu ,memiliki istilah semiotik. Kedua tokoh yang berasal dari dua benua yang berjauhan itu,yaitu  Eropa dan Amerika , dan tidak saling mengenal , sama-sama mengemukakan sebuah teori  yang secara  prinsipial tidak berbeda.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda tanda, mempelajari fenomena sosial-budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda (Preminger, 1974:980). Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengaji tanda (Hoed, 1992:2). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu  yang lain yang dapat berupa pengelaman, pikiran, perasaaan, gagasan, dan lain-lain.
Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier/signifiant) dan petanda (signified,signifie) (preminger, 1974:981-1982). Penanda adalah bentuk formal tanda itu, dalam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda adalah apa yang di tandai oleh petandanya itu.
Perkembangan teori semiotik higga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan pemahaman, dan atau pemberian makna , suatu tanda . Eco (Seges,2000) mengemukakan bahwa produksi tanda dalam semiotik komunikasi menyaratkan adanya pengiriman informasi,penerimaan informasi,sumber,tanda-tanda, saluran, proses pembacaan dan kode. Semiotik signifikasi, di pihak lain tidak di persoalkan produksi dan tujuan komunikasi, melainkan menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagimana proses kognisi dan interprestasinya.
  1. Teori semiotik peirce

       Teori pierce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain.sebuah tanda yang disebutnya sebagai representtamen haruslah mengacu (atau:mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan,ia juga menyebutnya sebagai designatum,denotatum,dan dewasa ini orang menyebutnya dengan istilah referent). Jadi jika sebuah tanda mewakili acuannya ,hal itu adalah fungsi utama tand itu . Misalnya,anggukan kepala mewakili persetujuan,gelengan kepala mewakili ketidaksetujuan . Agar berfungsi ,tanda harus ditangkap,dipahami misalnya dengan batuan suatu kode. Kode adalah suatu system peraturan yang lebih bersifat transindividual. “sesuatu”  yang dipergunakan agar sebuah tanda dapat berfungsi disebutnya sebagai ground. Proses perwakilan tanpa terhadap acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang diwakili. Hal itulahh yang disebutnya sebagai interpretant, yaitu pemahaman makna yang timbul dalam kognisi (penerima tanda) lewat interprestasi.
      Proses perwakilan itu disebut semiosis. Semiosis asalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda,yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya (Heod, 1992:3). “Sesuatu” tersebut tidak akan pernah menjadi tanda jika tidak (pernah) titafsirkan sebagai tanda. Jadi proses kognisi merupakan dasar semiosis karena tanpa hal itu  semiosis tidak akan pernah terjadi. Proses semiosis yang menuntut kehadiran bersama antara tanda,objek, dan interpretant itu oleh pierce disebut sebagai triadik. Proses semiosis dapat terjadi secara terus-menerus sehingga sebuah interpretant menghasilkan tanda baru yang mewakili objek yang baru pula dan akan menghasilkan interpretant yang lain lagi.
           Peirce membedakan hubungan antara tanda dan acuannya kedalam tiga jenis hubungan,yaitu (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan, (2) indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi, dan (3) simbol ,jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi (Abrams, 1999:280; van Zoest, 1992:8-9).
           Tanda yang berupa ikon misalnya foto, peta geografis, penyebutan atau penempatan dibagian awal atau depan (sebagai tanda sesuatu yang dipentingkan). Tanda yang berupa indeks misalnya,asap hitam tebal membubung menandai kebakaran ,wajah yang terlihat muram menandai hati yang sedih, sudah berkali-kali disapa namun tidak mau gentian menyapa menandakan sifat sombong, dan sebagainya. Tanda yang berupa simbol mencakup berbagai hal yang telah mengonvensi dimasyarakat. Antara tanda dan objek tidak memiliki hubungan kemiripan atau kedekatan, melainkan terbentuk karena kesepakatan. Misalnya, berbagai gerakan (anggota) badan menandakan maksud-maksud tertentu, warna tertentu (misalnya putih,hitam merah, kuning, hijau) menandai (melambangkan) sesuatu yang tertentu pula, dan bahasa . Bahasa merupakan simbol terlengkap (dan terpenting) karena amat berfungsi sebagai sarana untuk berfikir dan beras.
            Dalam teks kesastra ketiga jenis tanda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu dikatakan sebagai ikon, ia haruslah dipahami bahwa tanda tersebut mengandung penonjolan ikon ,menunjukkan banyaknya cirri ikon dibandingkan dengan kedua jenis tanda yang lain. Ketiganya sulit dikatakan mana yang lebih penting . Simbol jelas memerlukan tanda yang paling canggih karena berfungsi untuk penalaran,pemikiran, dan pemerasaan. Namun indeks pun-yang dapat dikatakan untuk memahami perwatakan tokoh dalam teks fiksi –mempunyai jangkauan eksistensial yang dapat melebihi simbol. Belaian kasih dapat lebih berarti daripada kata-kata rayuan,atau tingkah laku dan perbuatan lain yang lebih menunjukkan dan atau dipahami lebih baik dan intens dari pada sekedar kata-kata. Ikon , dipihak lain adalah tanda yang mempunyai “perayu” yang melebihi tanda yang lain. Itulah sebabnya, teks-teks kesastraan , juga teks-teks persuatif yang lain seperti iklan dan teks-teks politik, banyak memanfaatkan tanda-tanda ikon (van Zoest, 1992:10-11).
          Dalam kajian semiotik kesastraan,pemahaman dan penerapan konsep ikonisitas tampaknya memberikan sumbangan yang cukup berarti. Pierce membedakan ikon kedalam tiga macam, yaitu ikon,topologis, diagramatik, dan metaforis (van Zoest, 1992:11-23). Ketiganya dapat muncul bersama dalam satu teks, namun tidak dapat dibedakan secara pilah karena yang ada hanya masalah penekanan saja. Untuk membuat perbedaan ketiganya, hal itu dapat dilakukan dengan membuat deskripsi tentang berbagai hal yang menunjukkan kemunculannya. Jika dalam deskripsi terdapat istilh-istilah yang tergolong kedalam wilayah makna spasialitas, hal itu berarti tendapat ikon topologis .Sebaiknya jika termasuk wilayah makna relasional, hal itu berarti terdapat ikon diagramatik (dapat pula disebut : ikon relasional atau structural). Jika dalam pembuatan deskripsi mengharuskan dipakainya mertafora sebagai istilah-yang mirip bukan tanda dengan objek,melainkan antara dua objek (acuan) yang diwakili oleh sebuah tanda-hal itu berarti ikon metafora.
  1. Teori semiotic Saussure

      Teori sasusure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum,maka istilah-istilah yang dipakai (oleh para penganutnya pun) untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah dan model linguistik, Hal itu bukan hanya karena Saussure yang mengilhami mereka, melainkan juga sewaktu mereka mengembangkan teori semiotik , linguistik (struktural) telah berkembang pesat.Bahasa sebagai sebuah sistem tanda (sigh), dalam teori Saussure, memiliki dua unsur yang tidak terpisahkan :signifier dan signified, signifint dan signifie, atau penanda dan petanda.wujud sigmificant  (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah unsure konsepsual,gagasan, atau makna yang terjkandung dalam penanda tersebut (Abrams, 1999:280).
            Misalnya bunyi ‘buku’ yang jika dituliskan berupa rangkaian huruf (atau : lambang fonem) : b-u-k-u dalam suatu bahasa bukan bulan misalnya. Benda-benda tersebuat secara berbeda-beda dalam berbagai bahasa yang lain.Bahwa bunyi ucapan ‘buku’ itu pengacu pada benda tersebut, hal ini terjadi hanya karna masyarakat memakai tanda (bahasa) itu menyepakaatinya demikianlah. Kesepakatan ini dapat saja tidak berlaku dalam masyarakat (bahasa) yang lain yang telah memilikikesepakatan sendiri.
          Kenyataan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem mengandung arti bahwa ia terdiri atas sejumlah unsure, dan tiap nsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai kaidah sehingga ia dapat dipakai untuk berkomunikasi. Teori tersebut melandasi teori linguistik modern (yaitu: strukturalisme) ,dan pada giliran selanjutnya, teori itu dijadikan landasan dengan kajian kesastraan (Zaimar, 1991:11). Dalam studi linguistik misalnya dikenal adanya tataran fonetik,morfologi,sintaksis,semantik, dan pramagtik. Dalam kajian karya sastra juga dikenal dengan adanya kajian dari aspek sintaksis,semantik,dan pragmatic. Atau, sebagaimana dikemukakan oleh Todorov (1985:12), kajian dikelompokan berdasarkan aspek verbal, sintaksis,dan sematik . Dipihak lain, Kaum Formalisme Rusia membedakannya kedalam wilayah kajian stilistika, komposisi, dan tematik. Kajian semiotik karya sastra, dengan demikian, dapat dimulai dengan mengkaji kebahasaannya dengan menggunakan tataran-tataran seperti dalam studi linguistik.
            Bahasa sebagai aspek material, atau dalam karya sastra telah memiliki konsep makna tertentu sesuai dengan kovensi masyarkat pemakaian di atas. Paling tidak konsep makna pertama yang ditunjuk oleh suatu kata. Keadaan itu berbeda, misalnya, dengan cat dalam seni lukis yang masih dapat “dibentuk” untuk tujuan komunikasi tertentu. Oleh karena itu, unsur bahasa tersebut sudah tidak bersifat netral. Walau demikian, bahasa juga mempunyai konvensi lain, antara lain untuk tidak menuturkan sesuatu secara langsung sehingga makna yang disarankan pun lebih menunjuk pada tataran sistem makna tingkat kedua. Misalnya, hal itu terlihat pada penggunaan pelambangan-pelambangan dan atau perbandingan-perbandingan seperti bentuk metafora dan simile.
  Dengan demikian, dalam sastra tidak saja signifiant menyaran pada signifie, melainkan juga signifie menyaran pada signifie-signifie yang lain. Hal itu mirip dengan proses semiosis (Peirce) yang terjadi secara berkelanjutan sebagaimana dikemukakan di atas sehingga sebuah signifie (interpretant) menghasilkan penanda baru yang mewakili sesuatu yang lain (baru) lagi.
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya ada 3 jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu petanda sama dengan petandanya, misalnya gambar, potret, atau patung. Gambar rumah (penanda)sama dengan rumah yang di tandai (petanda) atau gambar rumah menandai rumah yang sesungguhnya.
Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan yang alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya , asap menandai api, mendung menandai hujan. Kalau di langit ada mendung penanda kalau ada hujan.
Simbol adalah  penanda dan petandanya tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah; hubungan arbitrer (semau-maunya) berdasarkan konvensi. Misalnya kata “ibu” (penanda) menandai “orang yang melahirkan kita”. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat konvensional yaitu di tentukan oleh konvensi.

Berdasarkan tanda tanda itu, dicari tanda tanda yang penting untuk pemaknaan sastra, apakah tanda itu ikon, indeks, atau simbol. Karena dalam pemaknaan sastra dicari tanda tanda yang penting itu. Maka pada hakikatnya memahami sastra itu oleh culler disebut memburu tanda tanda dalam bukunya The Pursuit of Signs (1981). Dengan demikian metode semiotik dalam pemaknaan sastra itu berupa pencarian tanda-tanda yang penting sebab keseluruhan sastra itu merupakan tanda tanda, baik berupa ikon, indeks atau simbol.

No comments:

Post a Comment

ANALISIS DRAMA “BILA MALAM BERTAMBAH MALAM” KARYA PUTU WIJAYA

ANALISIS DRAMA “ BILA MALAM BERTAMBAH MALAM ” KARYA PUTU WIJAYA Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Apresiasi Sastra dan Drama BAB...