SEMIOTIKA
Dalam pandangan semiotik yang berasal dari teori saussure bahasa merupakan sebuah sistem tanda. Sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut
makna.bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan, tidak hanya menyaran
pada sistem (tataran) makna tingkat pertama (first-order semiotic
system),melainkan terlebih pada sistem
makna tingkat kedua (second-order semiotic system) (culler,1997: 114).
Hal itu berjalan pada proses pembacaan pada teks kesastraan yang bersifat
heuristik dan hermenuistik di atas.
Peletak dasar teori semiotik ada dua
orang ,yaitu Ferdinand de saussure dan Charles Sandres Peirce. Saussure –yang
terkenal sebagai bapak ilmu bahasa modern-mempergunakan istilah semiologi. Di
pihak lain , peirce, yang seorang ahli filsafat itu ,memiliki istilah semiotik.
Kedua tokoh yang berasal dari dua benua yang berjauhan itu,yaitu Eropa dan Amerika , dan tidak saling mengenal
, sama-sama mengemukakan sebuah teori
yang secara prinsipial tidak
berbeda.
Semiotika
adalah ilmu tentang tanda tanda, mempelajari fenomena sosial-budaya, termasuk
sastra sebagai sistem tanda (Preminger, 1974:980). Semiotik
adalah ilmu atau metode analisis untuk mengaji tanda (Hoed, 1992:2). Tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang
lain yang dapat berupa pengelaman, pikiran, perasaaan, gagasan, dan lain-lain.
Tanda
mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier/signifiant) dan petanda
(signified,signifie) (preminger, 1974:981-1982). Penanda adalah bentuk formal
tanda itu, dalam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis,
sedangkan petanda adalah apa yang di tandai oleh petandanya itu.
Perkembangan
teori semiotik higga dewasa ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis semiotik
signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan pemahaman, dan atau pemberian makna
, suatu tanda . Eco (Seges,2000) mengemukakan bahwa produksi tanda dalam
semiotik komunikasi menyaratkan adanya pengiriman informasi,penerimaan
informasi,sumber,tanda-tanda, saluran, proses pembacaan dan kode. Semiotik signifikasi,
di pihak lain tidak di persoalkan produksi dan tujuan komunikasi, melainkan
menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagimana
proses kognisi dan interprestasinya.
- Teori semiotik peirce
Teori
pierce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia
mewakili sesuatu yang lain.sebuah tanda yang disebutnya sebagai representtamen haruslah mengacu
(atau:mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan,ia juga
menyebutnya sebagai designatum,denotatum,dan
dewasa ini orang menyebutnya dengan istilah referent).
Jadi jika sebuah tanda mewakili acuannya ,hal itu adalah fungsi utama tand itu
. Misalnya,anggukan kepala mewakili persetujuan,gelengan kepala mewakili
ketidaksetujuan . Agar berfungsi ,tanda harus ditangkap,dipahami misalnya
dengan batuan suatu kode. Kode adalah suatu system peraturan yang lebih bersifat
transindividual. “sesuatu” yang
dipergunakan agar sebuah tanda dapat berfungsi disebutnya sebagai ground. Proses perwakilan tanpa terhadap
acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubungannya dengan yang
diwakili. Hal itulahh yang disebutnya sebagai interpretant, yaitu pemahaman makna yang timbul dalam kognisi
(penerima tanda) lewat interprestasi.
Proses perwakilan itu disebut
semiosis. Semiosis asalah suatu proses
dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda,yaitu mewakili sesuatu yang
ditandainya (Heod, 1992:3). “Sesuatu” tersebut tidak akan pernah menjadi tanda
jika tidak (pernah) titafsirkan sebagai tanda. Jadi proses kognisi merupakan
dasar semiosis karena tanpa hal itu
semiosis tidak akan pernah terjadi. Proses semiosis yang menuntut
kehadiran bersama antara tanda,objek, dan
interpretant itu oleh pierce disebut
sebagai triadik. Proses semiosis dapat terjadi secara terus-menerus
sehingga sebuah interpretant
menghasilkan tanda baru yang mewakili objek yang baru pula dan akan
menghasilkan interpretant yang lain lagi.
Peirce membedakan hubungan antara
tanda dan acuannya kedalam tiga jenis hubungan,yaitu (1) ikon, jika ia berupa
hubungan kemiripan, (2) indeks, jika ia berupa hubungan
kedekatan eksistensi, dan (3) simbol ,jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi
(Abrams, 1999:280; van Zoest, 1992:8-9).
Tanda yang berupa ikon misalnya foto, peta geografis,
penyebutan atau penempatan dibagian awal atau depan (sebagai tanda sesuatu yang
dipentingkan). Tanda yang berupa indeks
misalnya,asap hitam tebal membubung menandai kebakaran ,wajah yang terlihat
muram menandai hati yang sedih, sudah berkali-kali disapa namun tidak mau
gentian menyapa menandakan sifat sombong, dan sebagainya. Tanda yang berupa
simbol mencakup berbagai hal yang telah mengonvensi dimasyarakat. Antara tanda
dan objek tidak memiliki hubungan kemiripan atau kedekatan, melainkan terbentuk
karena kesepakatan. Misalnya, berbagai gerakan (anggota) badan menandakan
maksud-maksud tertentu, warna tertentu (misalnya putih,hitam merah, kuning,
hijau) menandai (melambangkan) sesuatu yang tertentu pula, dan bahasa . Bahasa
merupakan simbol terlengkap (dan terpenting) karena amat berfungsi sebagai
sarana untuk berfikir dan beras.
Dalam teks kesastra ketiga jenis
tanda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Jika sebuah tanda itu
dikatakan sebagai ikon, ia haruslah dipahami bahwa tanda tersebut mengandung
penonjolan ikon ,menunjukkan banyaknya cirri ikon dibandingkan dengan kedua
jenis tanda yang lain. Ketiganya sulit dikatakan mana yang lebih penting .
Simbol jelas memerlukan tanda yang paling canggih karena berfungsi untuk
penalaran,pemikiran, dan pemerasaan. Namun indeks pun-yang dapat dikatakan
untuk memahami perwatakan tokoh dalam teks fiksi –mempunyai jangkauan
eksistensial yang dapat melebihi simbol. Belaian kasih dapat lebih berarti
daripada kata-kata rayuan,atau tingkah laku dan perbuatan lain yang lebih
menunjukkan dan atau dipahami lebih baik dan intens dari pada sekedar
kata-kata. Ikon , dipihak lain adalah tanda yang mempunyai “perayu” yang
melebihi tanda yang lain. Itulah sebabnya, teks-teks kesastraan , juga
teks-teks persuatif yang lain seperti iklan dan teks-teks politik, banyak
memanfaatkan tanda-tanda ikon (van Zoest, 1992:10-11).
Dalam kajian semiotik
kesastraan,pemahaman dan penerapan konsep ikonisitas tampaknya memberikan
sumbangan yang cukup berarti. Pierce membedakan ikon kedalam tiga macam, yaitu ikon,topologis,
diagramatik, dan metaforis (van Zoest, 1992:11-23).
Ketiganya dapat muncul bersama dalam satu teks, namun tidak dapat dibedakan
secara pilah karena yang ada hanya masalah penekanan saja. Untuk membuat
perbedaan ketiganya, hal itu dapat
dilakukan dengan membuat deskripsi tentang berbagai hal yang menunjukkan
kemunculannya. Jika dalam deskripsi terdapat istilh-istilah yang tergolong
kedalam wilayah makna spasialitas, hal itu berarti tendapat ikon topologis
.Sebaiknya jika termasuk wilayah makna relasional, hal itu berarti terdapat
ikon diagramatik (dapat pula disebut : ikon relasional atau structural). Jika
dalam pembuatan deskripsi mengharuskan dipakainya mertafora sebagai istilah-yang
mirip bukan tanda dengan objek,melainkan antara dua objek (acuan) yang diwakili
oleh sebuah tanda-hal itu berarti ikon metafora.
- Teori semiotic Saussure
Teori
sasusure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara
umum,maka istilah-istilah yang dipakai (oleh para penganutnya pun) untuk bidang
kajian semiotik meminjam dari istilah dan model linguistik, Hal itu bukan hanya
karena Saussure yang mengilhami mereka, melainkan juga sewaktu mereka
mengembangkan teori semiotik , linguistik (struktural) telah berkembang
pesat.Bahasa sebagai sebuah sistem tanda (sigh), dalam teori Saussure,
memiliki dua unsur yang tidak terpisahkan :signifier dan signified, signifint
dan signifie,
atau penanda
dan
petanda.wujud sigmificant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran
atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie
(petanda) adalah unsure konsepsual,gagasan, atau makna yang terjkandung dalam
penanda tersebut (Abrams, 1999:280).
Misalnya bunyi ‘buku’ yang jika
dituliskan berupa rangkaian huruf (atau : lambang fonem) : b-u-k-u dalam suatu
bahasa bukan bulan misalnya. Benda-benda tersebuat secara berbeda-beda dalam
berbagai bahasa yang lain.Bahwa bunyi ucapan ‘buku’ itu pengacu pada benda
tersebut, hal ini terjadi hanya karna masyarakat memakai tanda (bahasa) itu
menyepakaatinya demikianlah. Kesepakatan ini dapat saja tidak berlaku dalam
masyarakat (bahasa) yang lain yang telah memilikikesepakatan sendiri.
Kenyataan bahwa bahasa merupakan
sebuah sistem mengandung arti bahwa ia terdiri atas sejumlah unsure, dan tiap
nsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai kaidah sehingga
ia dapat dipakai untuk berkomunikasi. Teori tersebut melandasi teori linguistik
modern (yaitu: strukturalisme) ,dan pada giliran selanjutnya, teori itu
dijadikan landasan dengan kajian kesastraan (Zaimar, 1991:11). Dalam studi
linguistik misalnya dikenal adanya tataran
fonetik,morfologi,sintaksis,semantik, dan pramagtik. Dalam kajian karya sastra
juga dikenal dengan adanya kajian dari aspek sintaksis,semantik,dan pragmatic.
Atau, sebagaimana dikemukakan oleh Todorov (1985:12), kajian dikelompokan
berdasarkan aspek verbal, sintaksis,dan sematik . Dipihak lain, Kaum Formalisme
Rusia membedakannya kedalam wilayah kajian stilistika, komposisi, dan tematik.
Kajian semiotik karya sastra, dengan demikian, dapat dimulai dengan mengkaji
kebahasaannya dengan menggunakan tataran-tataran seperti dalam studi
linguistik.
Bahasa
sebagai aspek material, atau dalam karya sastra telah memiliki konsep makna
tertentu sesuai dengan kovensi masyarkat pemakaian di atas. Paling tidak konsep
makna pertama yang ditunjuk oleh suatu kata. Keadaan itu berbeda, misalnya,
dengan cat dalam seni lukis yang masih dapat “dibentuk” untuk tujuan komunikasi
tertentu. Oleh karena itu, unsur bahasa tersebut sudah tidak bersifat netral.
Walau demikian, bahasa juga mempunyai konvensi lain, antara lain untuk tidak
menuturkan sesuatu secara langsung sehingga makna yang disarankan pun lebih
menunjuk pada tataran sistem makna tingkat kedua. Misalnya, hal itu terlihat
pada penggunaan pelambangan-pelambangan dan atau perbandingan-perbandingan
seperti bentuk metafora dan simile.
Dengan
demikian, dalam sastra tidak saja signifiant menyaran pada signifie, melainkan
juga signifie menyaran pada signifie-signifie yang lain. Hal itu mirip dengan
proses semiosis (Peirce) yang terjadi secara berkelanjutan sebagaimana
dikemukakan di atas sehingga sebuah signifie (interpretant) menghasilkan
penanda baru yang mewakili sesuatu yang lain (baru) lagi.
Berdasarkan hubungan
antara penanda dan petandanya ada 3 jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan
simbol. Ikon
adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat
alamiah, yaitu petanda sama dengan petandanya, misalnya gambar, potret, atau
patung. Gambar rumah (penanda)sama dengan rumah yang di tandai (petanda) atau
gambar rumah menandai rumah yang sesungguhnya.
Indeks
adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan yang
alamiah yang bersifat kausalitas, misalnya , asap menandai api, mendung
menandai hujan. Kalau di langit ada mendung penanda kalau ada hujan.
Simbol
adalah penanda dan petandanya tidak
menunjukkan adanya hubungan alamiah; hubungan arbitrer (semau-maunya)
berdasarkan konvensi. Misalnya kata “ibu” (penanda) menandai “orang yang
melahirkan kita”. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol. Hubungan antara
penanda dan petanda bersifat konvensional yaitu di tentukan oleh konvensi.
Berdasarkan
tanda tanda itu, dicari tanda tanda yang penting untuk pemaknaan sastra, apakah
tanda itu ikon, indeks, atau simbol. Karena dalam pemaknaan sastra dicari tanda
tanda yang penting itu. Maka pada hakikatnya memahami sastra itu oleh culler
disebut memburu tanda tanda dalam bukunya The Pursuit of Signs (1981). Dengan
demikian metode semiotik dalam pemaknaan sastra itu berupa pencarian
tanda-tanda yang penting sebab keseluruhan sastra itu merupakan tanda tanda,
baik berupa ikon, indeks atau simbol.
No comments:
Post a Comment